Jumat, 24 Juli 2009

Pasir dan Batu

Pasir dan Batu

Oleh : Irfan Toni Herlambang

A da dua orang pengembara sedang melakukan perjalanan. Mereka tengah melintasi padang pasir yang sangat luas. Sepanjang mata memandang hanya pasir yang membentang. Jejak-jejak kaki mereka meliuk-liuk di belakang. Membentuk kurva yang berujung di setiap langkah yang mereka tapaki. Debu-debu pasir yang beterbangan memaksa mereka berjalan menunduk.

Tiba-tiba badai datang. Hembusannya membuat tubuh dua pengembara itu limbung. Pakaian mereka menggelepak, menambah berat langkah mereka yang terbenam di pasir. Mereka saling menjaga dengan tangan berpegangan erat. Mereka mencoba melawan ganasnya badai.

Badai reda. Tapi, musibah lain menimpa mereka. Kantong bekal air minum mereka terbuka saat badai tadi. Isinya tercecer. Entah gundukan pasir yang mana yang meneguknya. Kedua pengembara itu duduk tercenung , menyesali kehilangan itu. “Ah..., tamatlah riwayat kita,” kata seorang diantara mereka, kita sebut saja pengembara pertama. Lalu ia menulis di pasir dengan ujung jarinya. “Kami sedih. Kami kehilangan bekal minuman kami di tempat ini.”

Kawannya, si pengembara dua pun tampak bingung. Namun, mencoba tabah. Membereskan perlengkapannya dan mengajak kawannya melanjutkan perjalanan. Setelah lama menyusuri padang pasir, mereka melihat ada oase di kejahuan. “Kita selamat,” seru salah seorang diantara mereka. “Lihat, ada air di sana. “

Dengan sisa tenaga yang ada, mereka berlari ke oase itu. Untung bukan fatamorgana. Benar-benar sebuah kolam. Kecil tapi airnya cukup banyak. Keduanya pun segera minum sepuas-puasnya dan mengisi kantong air.

Sambil beristirahat, pengembara pertama mengeluarkan pisau genggamnya dan memahat di atas batu. “Kami bahagia. Kami dapat melanjutkan perjalanan karena menemukan tempat ini.” Itu kalimat yang dipahatnya.

Pengembara kedua heran,” Mengapa engkau kini menulis di atas batu, sementara tadi kau menulis di pasir ?”

Yang ditanya tersenyum. “Saat kita mendapat kesusahan, tulislah semua itu di pasir. Biarkan angin keikhlasan membawanya jauh dari ingatan. Biarkan catatan itu hilang bersama menyebarnya pasir ketulusan. Biarkan semuanya lenyap dan pupus,” jawabnya dengan bahasa cukup puitis.

“Namun, ingatlah saat kita mendapat kebahagiaan. Pahatlah kemuliaan itu di batu agar tetap terkenang dan membuat kita bahagia. Torehlah kenangan kesenangan itu di kerasnya batu agar tak ada yang dapat menghapusnya. Biarkan catatan kebahagiaan itu tetap ada. Biarkan semuanya tersimpan.”

Kedunya bersitatap dalam senyum mengembang. Bekal air minum sudah didapat, istirahatpun sudah cukup, kini saatnya untuk melanjutkan perjalanan. Kedua pengembara itu melangkah dengan ringan, seringan angin yang bertiup mengiringi.

Teman, kesedihan dan kebahagiaan selalu hadir. Berselang-seling mewarnai panjangnya hidup ini. Keduanya mengguratkan memori di hamparan pikiran dan hati kita. Namun, adakah kita bersikap seperti pengembara tadi yang mampu menuliskan setiap kesedihan di pasir agar angin keikhlasan membawanya pergi ? Adakah kita ini sosok tegar yang mampu melepaskan setiap kesusahan bersama terbangnya angin ketulusan ?

Teman, cobalah untuk selalu mengingat setiap kebaikan dan kebahagiaan yang kita miliki. Simpanlah semua itu di dalam kekokohan hati kita agar tak ada yang mampu menghapuskannya. Torehkan kenangan bahagia itu agar tak ada angin kesedihan yang mampu melenyapkannya. Insya Allah, dengan begitu kita akan selalu optimis dalam mengarungi panjangnya hidup ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar