Rabu, 02 Februari 2011

Jalan Cinta Para Pejuang

Mungkin Allah memberikan suatu petunjuk disaat engkau merasa bimbang dan ragu, walaupun terkadang petunjuk itu tanpa kita sadari. Gue merasakan kedatangan petunjuk yang benar-benar tidak disangka-sangka sama sekali karena pada saat ini gue memang lagi merasa bimbang, ragu dan bingung tepatnya tetapi petunjuk itu tiba2 datang pada email milist YISC kelas F yaitu milist kelompok gue mengaji di Al Azhar dan gue merasa ini adalah jawaban dari semua kebimbangan, keraguan dan kebingungan hati gue saat ini.

Email itu adalah berjudul Jalan Cinta Para Pejuang yang isinya :

Jalan Cinta Para Pejuang karya Salim A. Fillah Kutipan salah satu bab di dalam
buku ini
Sergapan Rasa Memiliki

..milik nggendhong lali..
rasa memiliki membawa kelalaian
-peribahasa Jawa-

Salman Al Farisi memang sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang
dikenalnya sebagai wanita mukminah lagi shalihah juga telah mengambil tempat di
hatinya. Tentu saja bukan sebagai kekasih. Tetapi sebagai sebuah pilihan dan
pilahan yang dirasa tepat. Pilihan menurut akal sehat. Dan pilahan menurut
perasaan yang halus, juga ruh yang suci.

Tapi bagaimanapun, ia merasa asing di sini. Madinah bukanlah tempat
kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki adat,
rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia berfikir, melamar
seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorang
pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah berbicara
untuknya dalam khithbah. Maka disampaikannyalah gelegak hati itu kepada
shahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abud Darda’.

”Subhanallaah.. wal hamdulillaah..”, girang Abud Darda’ mendengarnya. Mereka
tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup,
beriringanlah kedua shahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota
Madinah. Rumah dari seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa.

”Saya adalah Abud Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia.
Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam
dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah
Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli
bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk
dipersuntingnya.”, fasih Abud Darda’ bicara dalam logat Bani Najjar yang paling
murni.

”Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, ”Menerima Anda berdua, shahabat
Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan
seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya
saya serahkan pada puteri kami.” Tuan rumah memberi isyarat ke arah hijab yang
di belakangnya sang puteri menanti dengan segala debar hati.

”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang
ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena Anda berdua yang datang,
maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak
pinangan Salman. Namun jika Abud Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang
sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”

Jelas sudah. Keterusterangan yang mengejutkan, ironis, sekaligus indah. Sang
puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya! Itu mengejutkan dan
ironis. Tapi saya juga mengatakan indah karena satu alasan; reaksi Salman.
Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut
tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan
gelombang kesadaran; bahwa dia memang belum punya hak apapun atas orang yang
dicintainya. Mari kita dengar ia bicara.

”Allahu Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini
akan aku serahkan pada Abud Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan
kalian!”
♥♥♥

Cinta tak harus memiliki. Dan sejatinya kita memang tak pernah memiliki apapun
dalam kehidupan ini. Salman mengajarkan kita untuk meraih kesadaran tinggi itu
di tengah perasaan yang berkecamuk rumit; malu, kecewa, sedih, merasa salah
memilih pengantar –untuk tidak mengatakan ’merasa dikhianati’-, merasa berada
di tempat yang keliru, di negeri yang salah, dan seterusnya. Ini tak mudah. Dan
kita yang sering merasa memiliki orang yang kita cintai, mari belajar pada
Salman. Tentang sebuah kesadaran yang kadang harus kita munculkan dalam situasi
yang tak mudah.
Sergapan rasa memiliki terkadang sangat memabukkan..

Rasa memiliki seringkali membawa kelalaian. Kata orang Jawa, ”Milik nggendhong
lali”. Maka menjadi seorang manusia yang hakikatnya hamba adalah belajar untuk
menikmati sesuatu yang bukan milik kita, sekaligus mempertahankan kesadaran
bahwa kita hanya dipinjami. Inilah sulitnya. Tak seperti seorang tukang parkir
yang hanya dititipi, kita diberi bekal oleh Allah untuk mengayakan nilai guna
karuniaNya. Maka rasa memiliki kadang menjadi sulit ditepis..

Terima kasih Ya Allah, Engkau berikan petunjuk yang paling indah untukku...

1 komentar:

  1. Aku berharap menjadi Salman, ya Allah tetapi kenapa begitu berat menjalaninya ya...Salman bisa kenapa aku tidak ya Allah...bantu aku...Menjadi Salman...

    BalasHapus